KesultananBima. Pada tahun 1722, Sultan Goa dan Bima berunding. Hasil perundingan, daerah Manggarai diserahkan kepada Sultan Bima sebagai mas kawin. Sementara itu, di Manggarai muncul pertentangan antara Cibal dan Todo. Tak pelak, meletus pertempuran di Reok dan Rampas Rongot atau dikenal dengan Perang Rongot, yang dimenangkan Cibal.

Dahulu disebuah dusun kecil bernama Ndoso, hiduplah seorang gadis cantik jelita bernama Nggérang. Dinamakan Nggerang karena kulitnya putih serta berambut pirang. Nggerang dipercayakan sebagai hasil dari perkawinan silang resmi antara manusia dengan makhluk halus dari alam lain, dalam bahasa setempat dinamakan kakartana atau darat atau juga disebut ata pelsina. Ayah Nggerang bernama Awang dan ibunya bernama Hendang. Hnedang ibunda Nggerang dipercayakan berasal dari alam lain atau darat atau kakartana dalam bahsa setempat. Namun, Putri Nggerang ditinggalkan ibunya semasa dia masih balita bukan karena meninggal secara jasmaniah melainkan karena ayah Nggerang, Awang telah melanggar pantangan sebanyak sebanyak tiga kali. Bagi Hendang itu adalah jumlah ayng tidak lumrah lagi. Kisah ini terjadi ketika Hendang pergi timba air, Nggérang yang masih bagi bayi dijaga dan digendong bapaknya memberi pesan kepada Awang. “jika anak ini menangis janganlah kau dendangkan lagu ini ipung setiwu, paké sewaé, téu sa ambong ikan kecil sekolam, katak sesungai, tebu serumpun. Namun ketika Hendang sedang pergi timba air yang cukup jauh dari rumah, Nggérang pun menangis. Lalu, Awang berupaya menghentikan tangisan anaknya Nggérang dengan mendendangkan banyak lagu namun tidak membuat ia berhenti menangis. Bahkan tangisannya menjadi semakin keras dank keras. Banyak sudah lagu didendangkan oleh Awang namun, Nggérang tak juga berhenti menangis, dan baru berhenti menangis ketika mendendangkan lagu ipung setiwu, paké se waé, téu se ambong ikan kecil sekolam, katak sesungai, tebu serumpun; lagu terlarang tersebut memang dilarang dan menjadi pantangan bagi Hendang, namun suaminya Awang tidak memahami sedikitpun larangan tersebut. Awang sama sekali tidak memahami larang untuk tidak menyanyikan lagu itu. Sebenarnya arti dari lagu itu adalah bahwa, mereka berasal dari dua alam berbeda yang dipersatukan melalui perkawinan. Pelanggaran pertama, dan kedua bagi Hendang masih dapat diingatkan berulang kali, Awang masih juga melanggarnya untuk yang ketiga yang ketiga-kalinya, tiada lagi kata ibunda putri Nggérang pergi meninggalkan kedua orang terkasihnya Awang suaminya sertaNggérang anaknya di dusun Ndoso. Perpisahan ini bukanlah perpisahan untuk sesaat, namun meninggalkan sumai serta Putri tercintanya yang masih bayi dengan tetesan airmata menggalir dipipinya. “Kau telah melanggar pantangan kita, meskipun aku telah mengingatkan kau berulang kali. Sekarang tidak ada maaf lagi, kita berdua terpaksa harus berpisah” kata Hendang. “Aku kembali ke rumah orang tuaku, sementara Nggérang sebagai buah hati kita tinggal bersamamu sebagai paca mas kawin atas diri saya, harap dipelihara dengan baik.”begitulah pesan hendang kepada suaminya deiringi isak tangis yang itu juga merupkan tangisan untuk yang teraklhir kali baginya. Mendengar pesan tersebut, Awang tidak bisa menjawab dan tidak berdaya, karena seketika itu Hendang berubah wujud menjadi seekor népa ular sawah, dan ketika di pegang sangat licin, sehingga dengan mudah ia pergi meninggalkan dusun Ndoso, untuk selamanya, karena setelah itu ia tidak pernah muncul lagi. Sepeninggal ibunya Hendang, Putri Nggerang diasuh oleh empat saudaranya; satu laki-laki dtiga wanita, anak dari istri ayanhanya yang pertama bernama Tana. Ayahnya beristri dua yaitu Hendang yang berasal dari alam seberang dan Tana manusia biasa. Pada saat Putri Nggerang menginjak usia remaja, kecantikannya semakin terlihat dan sangat memikat banyak hati para pemuda. Karena kecantikannya yang tiada taranya itu, banyak raja raja ingin meminangnya diantara Mori Reok atau Raja Reok dan raja banyak raja raja yang meminangnya yang tidak hanya kaya tapi juga berparas menawan Nggerang menolaknya tanpa satupun diantaranya dapat memikat hatinya. Bahkan raja Bima dari pulau lain yang sedang berkuasa kala itu yang terletak diujung Timur pulau Sumbawa. Pulau berbeda dengan Nggerang. Nggerang gadis cantik nan aneh ini memang memiliki sesuatu yang ajaib dalam dirinya. Ini memang sangat mungkin karena memang dia adalah hasil dari perkawinan Tentang raja Bima, , konon ceritanya ia selalu melihat cahaya yang terpancar ke langit yang berasal dari daerah tersebut sesungguhnya berasal dari kulit emas putri Nggérang yang tumbuh pada punggung bagian atas, berbentuk bulat dan besarnya seukuran bulatan mata gung. Sultan Bimapun mengutus seorang abdi kerajaan bersama beberapa orang prajurit kerajaan ke Manggarai yang terletak diujung barat pulau Flores guna melacak cahaya dilacak dan yakin cahaya tersebut dimiliki oleh seorang putri cantik dan masih remaja bernama Nggérang yang tinggal di dusun Sultan Bima mempersiapkan diri untuk berangkat ke Manggarai untuk meminang putri Nggérang. Ketika Sultan Bima tiba di Ndoso, meskipun masyarakat menerimanya dengan baik. Namun sangat disayangkan, ketika Sultan Bima menyampaikan isi hatinya untuk meminang putri Nggérang yang cantik dan masih remaja itu, Nggerang menolaknya tanpa syarat. Raja Bima menjadi sakit hati dan dendam kepada Nggerang Lantaran Cintanya ditolak Putri oleh Nggerang tanpa syarat. Raja Bima lalu mengancam dengan mengirimkan magic magic ke dusun Ndoso. Seluruh dusun Ndoso diselimuti awan tebal kehitam-himan. Fenemona inipun hingga saat ini masih dikenal dengan sebuta rewung taki tana literally “Jika Nggerang tidak juga sedia menerima pinanganku, awam ini tak akan berhenti.”Ancam Mori Dima atau Raja Bima. Bagi orang setempat fenomena awan tebal yang meyentuh tanah itu sangatlah membahayakan kehidupan mereka. Karena mereka tidak bisa berbuat apaapa dalam kondisi salam seperti itu. “ Oh…Molas Nggerang terimalah saja lamaran itu supaya awan ini segera hilang dan kami bisa bekerja lagi” jeritan penduduk setempat. Namun bagi Nggerang, awan tebal itu bukanlah demi ancaman tak digubris oleh Putri Nggerang hingga akhirnya raja Bima tak sabar lagi ingin membunuh Putri berbekal sebagai raja berkuasa atas tanah manggarai termasuk Ndoso saat itu, Sultan Bima menyuruh orang tua Nggerangmembunh Putri Nggerang dan kulitnya genderang di bawa ke Bima dan satu genderang disimpan di Ndoso. Bagi Orang tua Nggerang meskipun permintaan Sultan Bima tersebut terasa karena ini permintaan Sultan Bima yang juga sebagai Raja yang berkuasa di daerah Manggarai ketika itu, maka orang tua putri Nggérang pun tidak bisa menolak. Berbagai usaha dilakukan oleh orang tua putri Nggérang, seperti memotong kerbau, kemudian kambing, dan kulitnya dibuatkan genderang, tetapi tidak mengeluarkan bunyi seperti yang diinginkan dan cahaya yang memancar ke langit pun tidak hilang; tetap kelihatan dari kerajaan terus-menerus dpaksa oleh Sultan Bima, akhirnya pada suatu hari orang tua Nggerang yang bernama Awang mengajak putri Nggérang mencari kutu rambutnya dan Nggerang menyetujui niat ayahnya tanpa menyangka bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Bersamaan dengan itu Awang mencabut beberapa helai rambutnya dan disimpan dalam tabung kecil, dan hal tersebut tidak menimbulkan efek atau pengaruh apa-apa. Kemudian ia mencungkil kulit emas yang berbentuk bulat sebesar mata gung dipunggungnya agar tidak memancarkan cahaya lagi, namun seketika itu putri Nggérang meninggal. Sadar bahwa Putrinya telah meninggal, maka Awang mencungkil sekalian kulit punggung bersama kulit emas dan kulit perutnya untuk dibuatkan genderang. Jadi, sesungguhnya ada dua gendrang yang dihasilkan dari kulit tubuh Putri Nggerang; Satu yang dibuat dari kulit emas di punggung Ngerang dikirim ke para pembawa, bukanya mereka bawa ke bima melainkan ke Sumbawa dikarenakan arus deras si selat Gili Banta. Jadi, gengrang tang terbuat dari kulit emas it keberadaanya bukan di Bima melainkan di Sumbawa hingga saat ini. Sementara satunya lagi yang terbuatdari kulit perut disimpan di Ndoso. Namun, selang beberapa hari setelah Nggerang meninggal, beberapa pemuda dari Todo dengan rombongan yang cukup banyak datang ke Ndoso meminta gendrang tersisa itu dengan sebagian kulit emas dari punggung ditanamkan di bukit Tingku Romot dekat Reo*** terhadapcerita rakyat, maka buku ini hadir dan menyajikan cerita lokal dari Kabupaten Manggarai Barat yang sarat dengan nilai budaya, pesan moral, dan penanaman budi pekerti pada anak-anak. Cerita MULA DESA GOLO NGGELANG ASAL yang berasal dari Kabupaten Manggarai Barat ini, menceritakan tentang harapan dan perjungan sepasang suami istri Pada posting kali ini kami akan membagikan beberapa cerita rakyat Malaysia yang paling populer. Posting kali ini akan menambah wawasan adik-adik semua mengenai dongeng dan legenda yang berasal dari negara tetangga kita yaitu Malaysi. Penasaran dongeng apa saja yang populer disana? Ini dia kisahnya Kumpulan Cerita Rakyat dan Dongeng Malaysia Paling Terkenal Pria Muda Menunjukkan Cinta Sejati Ini adalah kisah cinta sejati seorang pria muda untuk kekasihnya, yang sangat dia cintai sehingga dia cukup berani untuk mempertaruhkan nyawanya, melawan seekor naga. Dua ratus tahun yang lalu, ada seorang putri bernama May Yee. Dia lahir di Malaysia. Dia ingin menikah dengan seorang pria muda, tetapi pria itu sangat miskin. Sang Ratu, ibu dari Putri May Yee sangat marah mengetahui anaknya ingin menikah dengan pemuda itu. Ibunya berkata, “Apakah kamu yakin ingin menikah dengannya? Kamu tahu, kamu adalah gadis tercantik di dunia. ” Untuk itu sang putri berkata, “Aku kenal dia. Dia adalah orang yang baik. Dia sangat mencintaiku, dan aku juga mencintainya. “ Suatu hari, seekor naga ganas muncul di kota mereka. Naga itu membunuh banyak penduduk desa. Kemudian Ratu berkata siapapun yang membunuh naga itu akan mendapatkan keinginannya dikabulkan olehnya. Pemuda itu berkata kepada Ratu bahwa dia akan pergi untuk membunuh naga yang telah mengganggu Desa. Setelah itu, dia mengambil pedang dan pergi untuk membunuh naga itu. Sebenarnya si Pemuda memiliki rasa takut, tapi dia ingin menikahi sang putri. Si Pemuda berkata kepada Putri May Yee, “Jangan khawatirkan aku. Aku berencana untuk membunuh naga. Setelah itu kita bisa menikah. ” Lalu dia pergi untuk membunuh naga itu. Naga itu sangat kuat, dan mereka bertempur hebat. Namun karena semangat dan ke gigihan pemuda itu, akhirnya dia berhasil membunuh si naga. Sang putri sangat senang sampai dia menangis bahagia. Setelah itu ratu setuju mereka bisa menikah, dan mereka menjadi pasangan. Cerita rakyat ini bercerita tentang seorang pemuda yang sangat mencintai kekasihnya sehingga dia akan melakukan apa saja untuknya. Dia bahkan tidak peduli jika dia akan mati. Legenda Rakyat Malaysia Merong Mahawangsa Cerita Rakyat Malaysia Merong Merong Mahawangsa Alkisah pada zaman dahulu, hidpulah seorang pemuda bernama Merong Mahawangsa yang sangat gagah dan perkasa. Dia dikatakan sebagai keturunan Alexander Agung, kapten angkatan laut dan pengelana terkenal yang datang ke Asia beberapa tahun yang lalu. Itu adalah masa ketika Kekaisaran Romawi berada di puncak kekuasaannya, pada masa pemerintahan Hadrian – salah satu dari Lima Kaisar yang Baik. Pada saat itu, Dinasti Han Tiongkok, dikukuhkan dengan kokoh sebagai kekaisaran yang berkuasa dan berkembang ke Asia Tengah, seratus tahun sebelum periode Tiga Kerajaan. Namun Romawi menghadapi masalah dengan kapal mereka. Armada Romawi melakukan perbaikan dan perdagangan di Goa. Tiba-tiba, mereka sadar bahwa mereka mungkin meminta Merong Mahawangsa yang gagah berani untuk mengawal seorang pangeran Romawi ke Asia Tenggara. Tujuannya adalah agar sang pangeran menikah dengan seorang putri Cina yang cantik dari Dinasti Han. Dan mereka segera memulai perjalanan mereka untuk bertemu dengan putri cantik itu. Putri Cina dan pangeran Romawi seharusnya bertemu di tengah jalan dan menikah dengan alasan netral. Namun, semuanya tidak berjalan semulus yang direncanakan. Bangsa bajak laut Geruda memutuskan untuk menculik putri Tiongkok dan menggunakannya sebagai tebusan. Perkelahian dimulai saat armada Merong Mahawangsa diserang pasukan Geruda saat mendekati Selat Melaka sambil singgah di pulau kecil untuk mengisi perbekalan. Akhirnya, Merong Mahawangsa berhasil menyelamatkan sang Putri dan mempertemukannya kembali dengan tunangannya dalam sebuah pernikahan. Pernikahan itu telah mempertemukan dua peradaban besar dari Timur dan Barat. Nilai moral Membantu orang adalah perbuatan yang mulia. Dongeng Malaysia Fabel Kancil dan Buaya Sang Kancil adalah seekor hewan yang pintar. Kapanpun dia berada dalam situasi yang buruk, dia selalu memainkan trik cerdik untuk melarikan diri. Dalam cerita ini, Sang Kancil memperdaya Sang Buaya, seekor buaya besar dan jahat, yang ingin memakannya. Di sepanjang sungai terdapat banyak pohon tempat tinggal Sang Kancil, sehingga ia tidak pernah kesulitan mencari makan. Selalu ada banyak daun. Dia menghabiskan waktunya dengan berlari dan melompat dan melihat ke sungai. Sang Buaya, yang jahat, tinggal di sungai bersama buaya lainnya. Mereka selalu menunggu untuk menangkap Sang Kancil untuk makan malam. Suatu hari ketika si Kancil sedang berjalan di sepanjang sungai, dia melihat beberapa buah yang enak di pepohonan di seberang sungai. Sang Kancil ingin mencicipi buah yang kelihatannya enak karena dia sedikit lelah makan daun. Dia mencoba memikirkan cara untuk menyeberangi sungai, tetapi dia harus berhati-hati. Ia tidak mau ditangkap dan dimakan oleh Sang Buaya. Dia perlu menipu Sang Buaya. Sang Kancil tiba-tiba mendapat ide. Dia memanggil buaya, “Hai Buaya! Buaya! ” Sang Buaya perlahan keluar dari air dan bertanya kepada Sang Kancil mengapa dia meneriakkan namanya. Dia bertanya kepada Sang Kancil, “Apa kau tidak takut aku akan memakanmu?” Kemudian dia membuka mulut besarnya sangat lebar untuk menakuti Sang Kancil. Sang Kancil berkata, “Tentu saja, saya takut padamu, tetapi Raja ingin saya melakukan sesuatu. Dia mengadakan pesta besar dengan banyak makanan, dan dia mengundang semua orang, termasuk Anda dan semua buaya lainnya. Tapi pertama-tama, saya harus menghitung kalian semua. Dia perlu tahu berapa banyak dari Anda yang akan datang. Tolong berbaris di seberang sungai, jadi aku bisa berjalan melintasi kepalamu dan menghitung kalian semua. ” Sang Buaya sangat bersemangat dan pergi untuk memberi tahu buaya lainnya tentang pesta dengan semua makanan enak. Segera, mereka datang dan membuat antrean menyeberangi sungai. Sang Kancil berkata, “Berjanjilah untuk tidak memakan saya karena atau saya tidak dapat melaporkan kepada raja berapa banyak dari Anda yang akan datang.” Para buaya berjanji tidak akan memakannya. Sang Kancil menginjak kepala Sang Buaya dan menghitung satu. Lalu dia menginjak yang berikutnya dan berkata, “Dua.” Dia menginjak setiap buaya, menghitung masing-masing, dan akhirnya mencapai sisi lain sungai. Kemudian dia berkata kepada Sang Buaya, “Terima kasih telah membantu saya menyeberangi sungai ke rumah baru saya.” Sang Buaya kaget dan marah. Dia berteriak pada Sang Kancil, “Kamu menipu kami! Tidak ada pesta, bukan? ” Semua buaya menatap Sang Buaya dengan marah. Mereka marah karena dia membiarkan Sang Kancil menipu mereka semua. Si Kancil pun pergi tanpa menghiraukan teriakan si buaya. Sang Kancil menyukai rumah barunya di seberang sungai karena dia punya banyak makanan enak untuk dimakan. Sang Buaya yang malang tidak seberuntung itu. Setelah itu, tidak ada buaya lain yang pernah berbicara dengannya lagi. Selain Kumpulan Cerita Rakyat Malaysia, kami memiliki koleksi ribuan cerita rakyat Nusantara dan Dunia, silahkan gunakan menu pencarian untuk mendapatkan dongeng yang anda inginkan. Baca juga posting legenda kami lainnya yaitu Legenda Asal Mula Danau Lau Kawar Cerita Rakyat Sumatera UtaraLegenda Nyi Roro Kidul Penguasa Laut Selatan Cerita RakyatCerita Rakyat Indonesia Legenda Cindelaras dan Ayam AjaibLegenda Siluman Ular Putih Cerita Rakyat Tiongkok ChinaKumpulan Legenda Indonesia Pendek Paling Terkenal untuk AnakCerita Legenda Jaman Dahulu Beruang di Pohon EukaliptusKumpulan Cerita Legenda dari Dumai dan Kepulauan Riau Pranala luar PasarRakyat itu diharapkan dapat meningkatkan ekonomi masyarakat. Nusa Tenggara Timur, Jumat (18/6/2021) (ilustrasi). Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Manggarai Timur, NTT, mengoptimalkan pasar rakyat di Kecamatan Lamba Leda Utara untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dari pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di wilayah tersebut.
Catatan editor Tulisan ini merupakan karya dari Vianney Andro Prasetyo, seorang alumni Australian National University. Ia merupakan pemerhati lingkungan, penikmat pariwisata, kopi dan sejarah. Sekarang, Andro tinggal di Ruteng. Dalam surat elektronik kepada ia berharap, ulasan dengan basis ilmiah ini yang juga berisi hipotesis mengenai asal usul Manggarai, bisa menjadi referensi bagi masyarakat yang ingin belajar tentang Manggarai. Kesultanan Bima dan Kesultanan Makassar Sejarah Manggarai tidak lepas dari sejarah Kerajaan lain di Nusantara seperti Kerajaan Gowa yang kemudian dilebur bersama Kerajaan Tallo menjadi Kesultanan Makassar, Kerajaan Bima, perkembangan Agama Islam di Nusantara dan penyebaran Agama Katolik di Flores. Kawasan Barat Flores Manggarai pada masa lampau dikuasai oleh Kerajaan Bima hingga pada awal tahun 1900 Steenbrink 2013. Bima menjadi Kerajaan Islam karena pengaruh Penguasa Gowa yang memeluk Islam pada tahun 1605 dan kemudian membentuk Kesultanan Makassar. Bima yang saat itu menjadi taklukan Gowa kemudian memeluk agama Islam Steenbrink 2013. Sebagai daerah taklukan, Bima mengirim upeti kepada penguasa Gowa yang juga diambil dari tanah Manggarai seperti hasil bumi dan ternak Daeng 1995. Keadaan ini bertahan hingga tahun 1667 saat diadakan Perjanjian Bungaya antara VOC dan Kerajaan Gowa yang saat itu menguasai Bandar Makassar. Gowa yang merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut tetap melakukan perlawanan dibawah pimpinan Sultan Hasanuddin hingga akhirnya dikalahkan oleh VOC pada 1669. Perlawanan ini dikenal dengan Perang Makassar 1666-1669. Daerah yang berhasil lepas dari kekuasaan Gowa akibat perjanjian dan perang ini adalah Makassar, Bone dan Bima. Pada tahun 1669, Bima kemudian menyerah dan menandatangi suatu perjanjian dagang dengan VOC. Selanjutnya, Bima menjadi penguasa tunggal atas Manggarai yang diakui oleh VOC Daeng 1995. Pada tahun 1700-an atau mungkin sebelumnya, di Manggarai telah ada suatu sistem pemerintahan dari tiga kelompok masyarakat yang cukup besar, yaitu Todo, Cibal dan Bajo Daeng 1995. Pada tahun 1727, seorang putra Sultan Bima mempersunting seorang Putri dari Kesultanan Makassar, Puteri Daeng Tamima. Kawasan Manggarai kemudian diserahkan sebagai hadiah perkawinan dan Puteri Daeng Tamima mendirikan Kerajaan Islam di Reo, pantai utara Manggarai. Sultan Musa Lani Alima dari Bima ternyata tidak setuju menjadikan Manggarai sebagai hadiah kepada Kesultanan Makassar. Maka, pada tahun 1732 dibentuklah persekutuan dengan Bajo untuk menyerang Reo dari laut dan mengusir orang Makassar di Reo. Akan tetapi, serangan ini gagal sehingga disusun kekuatan baru dengan bantuan Todo dari arah selatan Daeng 1995. Todo menggunakan kesempatan ini untuk memperoleh hegemoni dan pengaruh atas pedalaman Manggarai dengan menaklukkan penguasa-penguasa lokal di pedalaman. Akibat kekuatan yang tidak seimbang, maka Puteri Daeng Tamima akhirnya menyerah dan kembali ke Makassar. Dengan demikian pengaruh Bima atas Manggarai tetap dapat dipertahankan Daeng 1995. Setelah mengamankan kekuasaan di Manggarai, Bima menjadikan Reo sebagai pusat pemerintahan di Manggarai dengan mengangkat perwakilan Sultan Bima yang disebut Naib. Perwakilan Sultan Bima yg kedudukannya lebih rendah dari perwakilan di Reo juga ditempatkan di Labuan Bajo, Pota dan Bari. Di Manggarai, Kesultanan Bima mempelopori suatu sistem pemerintahan yang disebut kedaluan dan gelarang. Gelarang memiliki status dibawah Kedaluan Daeng 1995. Pada tahun 1732, situasi struktur pemerintahan di Manggarai adalah perwakilan Sultan Bima di Reo, Pota, Bari dan Labuan Bajo, tiga dalu besar; Todo, Cibal dan Bajo yang tidak mempunyai hubungan koordinatif dengan Naib di Reo dan juga dalu-dalu kecil lainnya. Selanjutnya, Dalu Todo juga membawahi tiga belas kedaluan yang lebih kecil yaitu Kolang, Lelak, Wontong, Welak, Ndoso, Ndeles, Rahong, Ruteng, Poco Leok, Torok Golo, Sita, Riwu dan Manus, namun tetap membayar upeti kepada Naib di Reo. Sementara itu, Dalu Cibal dan Dalu Bajo tidak membawahi dalu-dalu kecil lainnya namun juga membayar upeti kepada Naib di Reo Daeng 1995. Kedaluan yang mempunyai hubungan koordinatif dengan Naib di Reo adalah Ruis, Pasat, Nggalak, Rego, Pacar, Boleng, Kempo, Nggorang, Mburak, Lo’ok dan Lambaleda. Sementara itu, kedaluan yang berada dalam garis koordinatif dengan Naib di Pota adalah Congkar, Biting dan Rembong Daeng 1995. Seiring dengan berkembangnya daerah kekuasaan Bima di Manggarai dan juga daerah kekuasaan Dalu besar yang ada maka jumlah kedaluan di Manggarai pun bertambah. Pada perkembangannya, daerah Manggarai terbagi dalam 38 kedaluan Steenbrink 2013. Situasi Struktur Pemerintahan di Manggarai tahun 1732 Naiknya hegemoni Dalu Todo rupanya tidak disukai oleh Dalu Cibal yang menganggap Dalu Todo bukanlah Manggarai asli melainkan keturunan Minangkabau. Rivalitas diantara kedua Dalu ini kemudian menghasilkan beberapa peperangan terbuka yang kemudian dimenangkan oleh Dalu Todo. Keberpihakan Bima terhadap Dalu Todo terjadi akibat aliansi yang terbentuk dalam menyerang Reo. Namun, sebenarnya Bima tidak mempunyai kepentingan terhadap perselisihan yang terjadi diantara kedua dalu tersebut selain mengamankan pengaruh mereka atas Manggarai Daeng 1995. Asal usul Dalu Todo atau pemimpin kedaluan tersebut yang berasal dari Minangkabau memang masih sulit dibuktikan secara ilmiah mengingat sedikit sekali catatan sejarah mengenai Manggarai, kecuali menggali dan menganalisa dari catatan sejarah kebudayaan lain yang terkait, seperti Bima, Makassar Gowa ataupun Minangkabau. Cerita masa lampau dan asal usul di Manggarai masih disampaikan turun menurun secara verbal. Tidak adanya akses ke pendidikan mengakibatkan budaya Manggarai pada masa lampau tidak mengenal budaya literasi dalam konteks membaca dan menulis. Beberapa orang mungkin mempunyai kemampuan tersebut terutama yang mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan suku bangsa lain di derah pesisir ataupun karena intervensi dari misionaris Pemerintah Kolonial Belanda dengan mengirim mereka ke sekolah-sekolah misi yang ada di Flores. Misionaris dan Pemerintah Kolonial Belanda juga telah membantu memberikan referensi sejarah Manggarai sejak awal 1900 melalui penelitian-penelitian etnologi. Minangkabau Namun bila kita kaitkan dan lihat lebih jauh mungkin saja cerita ini bisa di telaah berdasarkan catatan sejarah dan riset yang ada. Suku Minangkabau dan Makassar dan Bugis merupakan sedikit dari suku-suku di Indonesia yang melakukan perantuan pada masa lalu Persoon 2002. Wilayah yang diliputi juga cukup besar. Suku Minangkabau merantau hampir diseluruh kawasan Asia Tenggara termasuk kawasan Indonesia Timur. Salah satu perantau awal dari Minangkabau bermukim di kawasan Negri Sembilan di Semenanjung Malayu dan menjadi bagian dari Negara Federasi Malaysia. Suku Makassar ataupun Bugis diketahui melakukan pencarian teripang hingga ke pesisir utara di benua Australia dan melakukan perdagangan hingga ke Madagaskar. Ada kemiripan yang mendasari perantuan suku-suku ini, yaitu perdagangan atau faktor ekonomi. Namun, ada satu hal yang berbeda dari Suku Minangkabau yang juga mendorong suku ini untuk merantau, yaitu budaya Matrilineal Persoon 2002. Orang Minangkabau akan pergi merantau dan enggan untuk kembali sebelum meraih kesuksesan. Suatu pegangan hidup yang ditanamkan oleh para Ibu di Minangkabau kepada anak laki-lakinya yang kini menjadi lebih umum bagi suku-suku lain di Indonesia. Anak laki-laki Minangkabau akan merantau dan keluar dari rumah saat dewasa karena menyadari bahwa rumah dan tanah menjadi hak bagi Saudarinya, apalahi bila saudari mereka sudah menikah dan mempunyai anak. Suatu budaya yang diperkenalkan oleh nenek moyang legendaris masyarakat Minangkabau Datuak Katamanggungan dan Datuak Perpatih Nan Sebatang. Mereka berdua yang dipercaya menyusun sistem adat Minangkabau atau yang dikenal dengan Lareh Bodi Caniago pada sekitar tahun 1200, jauh sebelum Agama Islam masuk ke Minangkabau Batuah AD dan Madjoindo AD 1959. Menurut catatan dalam Suma Oriental oleh Robert Pires, diketahui bahwa pada sekitar awal tahun 1500 terdapat Tiga Raja yang berkuasa di Minangkabau; Raja Alam, Raja Sabda dan Raja Ibadat Cortesao A 1944. Menurut catatan yang dibuat antara tahun 1513-1515, disebutkan bahwa dari ketiga Raja Minangkabau tersebut hanya satu yang telah memeluk Agama Islam sejak 15 tahun sebelumnya. Ini artinya, Agama Islam mulai berkembang di sebagian masyarakat Minangkabau pada sekitar tahun 1498 – 1500. Seperti dijelaskan diawal, budaya merantau Minangkabau yang kuat berdampak pada migrasi besar-besaran sekitar tahun 1500 an Dobbin 2008. Banyak orang Minangkabau yang pindah ke sisi Timur Sumatera bahkan hingga ke Semenanjung Malaya karena adanya Kesultanan Malaka dan jalur perdagangan yang ramai. Kesultanan Malaka saat itu memang dipengaruhi oleh Islam namun pada pelaksanaan hukum dan pemerintahan tidak didasarkan sepenuh pada nilai-nilai Islam Halimi 2008. Demikian pula dengan situasi masyarakat Minangkabau saat itu. Masyarakat Minangkabau baru menerapkan ajaran Islam sepenuhnya setelah meletusnya Perang Paderi 1803-1838, akibat konflik antara Kaum Adat dan Kaum Paderi Ulama. Setelahnya jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak orang Melayu termasuk Minangkabau yang berimigrasi ke Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Saat itu Kerajaan Gowa belum memeluk Islam dan orang-orang Melayu ini lah yang memperkenalkan Islam hingga Kerajaan Gowa memeluk Islam pada awal tahun 1600 yang juga kemudian mempengaruhi Kerajaan Bima. Hipotesa Keturunan Minangkabau di Manggarai Bila melihat dari catatan sebelumnya dimana pada tahun 1732 telah terdapat 3 dalu besar di Manggarai termasuk Todo, dan belum berkembangnya Islam di Manggarai, maka hipotesa yang bisa dibangun adalah sebagai berikut Nenek moyang Dalu Todo mungkin berasal dari suku Minangkabau yang merantau pada sekitar abad ke 12 sampai abad ke 14 saat telah berlaku budaya Matrilineal. Namun kemudian, mengapa budaya tersebut tidak diterapkan di Todo masih perlu diteliti. Mungkin saja para perantau awal ini adalah mereka yang menolak budaya Matrilineal. Nenek moyang Dalu Todo mungkin berasal dari Suku Minangkabau yang merantau ke Sulawesi Selatan pada abad ke 15 dan 16. Diketahui bahwa suku Minangkabau telah bermukim di Makassar sejak tahun 1490. Sebagai bandar yang cukup besar pada masanya, sangatlah mungkin Makassar dihuni oleh suku-suku lainnnya seperti Bugis, Luwu dan bahkan Bima. Kawin campur mungkin terjadi dan pengaruh Islam masih belum terlalu kuat. Dengan hubungan antara Gowa dan Bima, juga karakter Minangkabau dan Bugis/Makassar sebagai perantau dan penjelajah, mungkin terjadi bahwa perantau Minangkabau ini ataupun keturunannya ikut dalam ekspedisi ke Manggarai dan bermukim didaerah Todo hingga berkembang sampai saat ini. Abad ke 15 sampai dengan awal abad ke 17 bisa dikatakan sebagai masa peralihan dimana Kerajaaan-Kerajaan di Nusantara mulai memeluk Islam. Namun pengaruhnya dalam pemerintahan dan hukum belum begitu kuat, sehingga masih banyak masyarakatnya yang berpegang kepada adat istadat dan budaya. Hal ini juga terjadi di Kerjaan Minangkabau dan Kerajaan Gowa sehingga sangat mungkin perantau Minangkabau yang datang ke Manggarai masih berpegang kepada adat dibanding agama yang masif relatif baru. Pertanyaan mengenai budaya matrilineal yang tidak diwariskan juga akan muncul. Namun hipotesa ini menjelaskan bahwa mungkin saja para perantau ini punya motif yang sama dengan perantau di hipotesa pertama, yaitu menolak Matrilineal atau bisa saja para perantau ini adalah suku Minangkabau yang telah menetap beberapa saat di Makassar sebelum melanjutkan perjalanan ke Manggarai. Sebagai pendatang di Makassar yang adalah patrilineal, bukan tidak mungkin Suku Minangkabau ini kemudian mengadopsi sistem yang sama. Faktor kawin campur dan eksposur terhadap budaya lain bisa mempengaruhi kenapa sistem kekerabatan matrilineal tidak dibawa ke Manggarai. Perbudakan dan Perlawanan Kondisi topografi dan geografi pada masa lampau menyebabkan sulitnya akses ke daerah pedalaman Manggarai. Sehingga terdapat perbedaan jelas antara penduduk di daerah pesisir yang didominasi suku Bima, Makassar dan Bugis dan penduduk Manggarai di daerah pedalaman. Hingga tahun 1900, penduduk di pedalaman mempunyai perasaan takut yang mendalam tehadap pendatang karena risiko penyerangan dan dijadikan budak Steenbrink 2002. Pada tahun 1700, di Batavia telah terdapat suatu desa dengan nama Manggarai yang dinamakan karena banyaknya budak yang berasal dari Flores bagian Barat Steenbrink 2002. Mereka mengumpulkan pajak, hasil bumi, ternak dan juga budak dari penguasa lokal dalu dipedalaman Manggarai Steenbrink 2013. Pada 1 Januari 1860, Pemerintahan Kolonial Belanda menghapus perbudakan di Hindia Belanda. Akan tetapi budak-budak di Pulau Sumbawa yang sebagian berasal dari Flores bagian Barat baru benar-benar dibebaskan pada tahun 1910 Steenbrink 2013. Sementara di Flores Barat sendiri praktek pengambilan budak baru benar-benar hilang saat Belanda secara resmi mengambil alih kekuasaan pada 1908. Pada tahun 1783 diadakan suatu perjanjian tertulis antar Sultan Bima, Abdulkadim dengan sejumlah Dalu di Manggarai yang isinya mengingatkan kembali pengakuan Belanda terhadap kekuasaan Bima di Manggarai pada tahun 1669. Persetujuan ditandai dengan penyerahan alat-alat upacara kebesaran dan senjata kepada sejumlah perwakilan Dalu. Akan tetapi, isi perjanjian tersebut membuat hubungan antara Bima dan penduduk pedalaman Manggarai menjadi tidak seimbang dimana kedaluan di pedalaman dilarang melakukan hubungan dagang dengan pihak lain. Sementara itu, Bima hanya menerima pajak, upeti dan budak dari kedaluan yang ada. Penduduk Bima, Bugis atau Makassar yang beristrikan orang dari pedalaman Manggarai dilarang tinggal di derah kedaluan karena akan mencemari adat dan agama. Ini pula yang membuat Agama Islam pada saat itu tidak bisa berkembang di Manggarai yang sebagian besar penduduknya masih menganut kepercayaan lokal Steenbrink 2013. Melalui persetujuan pada 1783, Bima telah memainkan peranan penting dan pengaruhnya terasa sampai jauh ke pedalaman. Sehingga timbul reaksi dan perlawanan dari pemimpin lokal, apalagi dengan adanya kekuatan baru yang muncul, Todo. Pada tahun 1860, Dalu Todo menentang Bima secara resmi dengan menolak kekuasaan Sultan Bima. Pada tahun 1905, Todo menolak untuk membayar upeti pada saat penobatan seorang Sultan baru di Bima. Pada tahun 1915, saat seorang Sultan Bima wafat, seluruh Kedaluan di Manggarai menolak hadir pada saat upacara pemakamam dan menyatakan diri bebas dari Bima Daeng 1995. Runtuhnya Kekuasaan Bima Pada awal 1900, kekuasaan Bima di Manggarai mulai memudar. Pada tahun 1908, Belanda secara resmi melakukan kegiatan administratif di Manggarai. Selanjutnya, pada tahun 1913, terjadi perubahan dalam struktur Kesultanan Bima dimana teritori Manggarai dibawah Raja Naib di Reo dinyatakan terpisah dari Kesultanan Bima dan menjadi unit administratif tersendiri. Perubahan struktur VOC ke Pemerintah Hindia Belanda juga mempengaruhi eksistensi Bima di Manggarai. Dengan dibubarkannya VOC pada 1 Januari 1800, maka perjanjian Bima dan VOC pada tahun 1669, tidak lagi relevan dan Pemerintahan Hindia Belanda yg baru mempunyai preferensi yang berbeda tehadap tanah jajahannya di Flores, termasuk salah satunya untuk pengembangan Agama Katolik. Pada awalnya, Pemerintah Hindia Belanda masih mempertimbangkan untuk mempertahankan keturunan Sultan Bima sebagai penguasa Manggarai yang terpisah dari Bima. Namun, karena situasi yang telah berubah dan penolakan dari penguasa lokal di Manggarai, maka Pemerintah Hindia Belanda mengurungkan niat tersebut dan diantara tahun 1927 dan 1929 Pemerintah Hindia Belanda membuat keputusan untuk memulangkan semua pegawai pemerintahan yang berasal dari Bima Steenbrink 2013. Selanjutnya, anak bungsu dari Tamur, pemimpin Kedaluan Todo yang bernama Baroek dinominasikan untuk menjadi Raja Manggarai Radja van Manggarai. Baroek yang lahir pada 1900 telah dididik pada sebuah sekolah Misi di Ende. Sementara menunggu Baroek yang sedang menempuh pendidikan kembali ke Manggarai, Belanda menomminasikan Kraeng Bagoeng yang juga berasal dari Dalu Todo untuk menjadi Raja Manggarai pada tahun 1924 Steenbrink 2013. Kekuasaan Bima di Manggarai berakhir secara resmi pada tanggal 21 April 1929. Sementara itu, Baroek di inagurasi menjadi Raja yang baru pada tanggal 13 November 1930. Radja Bagoeng yang adalah Raja Manggarai sebelumnya berganti menjadi Raja Bicara Manggarai Radja Bitjara van Manggarai. Keputusan final ini menandai berakhirnya kekuasaan Muslim Bima di Manggarai dan diganti dengan Penguasa Katolik lokal dari Manggarai dibawah pengawasan Belanda. Pusat pemerintahan yang sedianya berada di Reo juga dipindahkan ke Ruteng Steenbrink 2013. Foto Gereja Katedral Ruteng yang diresmikan pada tahun 1930 Raja Bagoeng dan Raja Baroek wafat pada masa Kemerdekaan dan masa transisi dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia. Selanjutnya, kekuasaan Raja Manggarai diteruskan oleh Kraeng Ngambut yang juga berasal dari Todo. Kepemimpinan Kraeng Ngambut berlangsung sejak masa transisi Kemerdekaan Indonesia, Manggarai sebagai daerah Swa Praja hingga akhirnya ditetapkan sebagai Kabupaten. Semenjak menjadi Kabupaten hingga saat ini, Manggarai telah dipimpin oleh tujuh Kepala Daerah. Bupati pertama adalah Bapak Karolus Hambur yang kemudian digantikan oleh Bapak Frans Sales Lega. Nama Frans Sales Lega diabadikan menjadi nama bandara di kota Ruteng. Bupati yang ketiga adalah Bapak Frans D. Burhan yang kemudian diteruskan oleh Bapak Gaspar Parang Ehok. Bapak Anton Bagul dan Bapak Kris Rotok meneruskan kepemimpinan daerah hingga Manggarai saat ini dipimpin oleh Bapak Deno Kamelus bersamaWakilnya Bapak Viktor Madur. Manggarai juga mendapat pengaruh budaya oleh pendatang dari berbagai macam latar belakang, seperti Cina, Jawa, Bugis, Padang, Bali, Makasar, Belanda, Portugis, termasuk penduduk Pulau Flores dan penduduk NTT dari daerah lain. Hal ini telah memperkaya dan membentuk keanekaragaman budaya di Manggarai. Referensi 1944, Cortesao A., The Soma Oriental of Tome Pires, Hakluyt Society, Vol. 2, London 1959, Batuah dan Madjoindo Tambo Minangkabau dan Adatnya, Balai Pustaka, Jakarta. 1995, Daeng H. Manggarai Daerah Sengketa Antara Bima dan Gowa’, Humaniora 11. 1997, Zuhdi S. and Wulandari T.,’Kerajaan Tradisional di Indonesia BIMA’, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta. 2002, Persoon Defining Wildness and Wilderness Minangkabau Images and Actions on Siberut West Sumatra, Tribal Communities in the Malay Worlds Historical, Cultural and Social Perspectives’, pp. 439-456, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore. 2002, Steenbrink K., Flores Efforts to Create Modern and Christian Society’, Catholics in Indonesia 1808 – 1942. Chapter 3. 2008, Dobbin C., Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri Minangkabau 1784 – 1847, Komunitas Bambu, Jakarta. 2008, Halimi Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu. 2013, Steenbrink K., Dutch Colonial Containment of Islam in Manggarai, West-Flores, in Favour of Catholicism, 1907-1942’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 169, Pp. 104-128, Brill.
Ruteng RNC - Dinas Lingkungan Hidup Daerah (DLHD) Kabupaten Manggarai, bekerjasama Kejaksaan Negeri (Kejari) Manggarai, menggandeng tim Appraisal dalam melaksanakan penentuan harga tanah Tempat Pengolahan Akhir (TPA) Sampah. Tiga lokasi jadi target untuk TPA. Yakni TPA Ncolang, Kelurahan Karot, Kec
\n \n\n cerita rakyat daerah manggarai
PotretSejarah Manggarai dalam Sejarah Nusantara: Sebuah Studi Literatur. Tari caci, salah satu warisan seni budaya masyarakat Manggarai di Flores yang masih lestari hingga saat ini. (Foto: masguhberkata.files.wordpress.com) Catatan editor: Tulisan ini merupakan karya dari Vianney Andro Prasetyo, seorang alumni Australian National University. CeritaRakyat NTT - Dongeng Nusa Tenggara Timur Tampe Ruma Sani. Alkisah pada zaman dulu ada seorang anak perempuan yang suka menguncir rambutnya yang panjang bernama Tampe Ruma Sani. Namanya memang agak sulit, tetapi artinya begitu bermakna untuk masa depannya. Tampe Ruma Sani sudah setahun ditinggal mati oleh ibunya. Ayahnyasuatu waktu mendengar wangsit untuk melakukan pertapaan di Gunung Agung sekaligus menemui Naga Besukih. Kepada Naga Besukih, ia menjelaskan maksud kedatangannya. Sang naga mengakhiri pertemuan mereka dengan memberikan Sidi Mantra sisik emas. Manik penasaran dari mana datangnya harta sang ayahnya.
Kerakera berayun pada cabang pohon-pohon besar itu. Sampailah Timung Té'é pada sebuah pohon yang dihuni kera paling besar, gemuk, tambun dan tengkuknya padat berisi. Kera seperti itu orang Manggarai menyebutnya Kodé Seket. Sayur-sayuran hutan di sekitar pohon itu sangat banyak.
cMWnEt.
  • kajq7w9lxg.pages.dev/87
  • kajq7w9lxg.pages.dev/56
  • kajq7w9lxg.pages.dev/486
  • kajq7w9lxg.pages.dev/275
  • kajq7w9lxg.pages.dev/152
  • kajq7w9lxg.pages.dev/289
  • kajq7w9lxg.pages.dev/269
  • kajq7w9lxg.pages.dev/385
  • cerita rakyat daerah manggarai